Baratayudha

Senin, 15 Desember 2008

Kakawin Bharata Yudha, buah karya Pujangga Besar Empu Sedah dan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri itu, hingga sekarang masih tetap menjadi pusat perhatian kaum cerdik cendikiawan dan para sarjana dari luar maupun dalam negeri yang ingin memperdalam bahasa serta kesusasteraan Jawa.

Isi kakawin tersebut, menceritakan perangnya keluarga Pandawa melawan Kurawa.

Karena kedua belah pihak masih darah daging, yaitu rumpun Bharata Yudha. Kakawin tersebut termasuk kitab Jawa Kuna disusun dengan sekar ( puisi ) dan ( digubah berdasarkan kitab Maha Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab “ Astadasa Parwa “ ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.



Karena buku itu memuat cerita perang, maka isinya untuk sebagian besar adalah soal pertempuran, dengan korban-korban berguguran. Kecuali Kakawin Bharata Yudha sendiri , juga kitab Jawa yang bernama “ Adi Parwa “ menyebutkan, bahwa perang besar itu hanyalh berlangsung 18 malam saja. Meskipun demikian menurut cerita itu , korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatang-binatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya, menurut kata-kata aslinya jumlah itu ialah : Sangang yuta limang keti, tigang leksa sangan ewu langkung seket.

Pertempuran yang terlam 10 hari, yang tersingkat setengah hari saja. Tadi telah disebutkan, bahwa Kakawin itu menggubah parwa-parwa atau bagian.

Adapun yang dipetik oleh Kakawin itu ialah :

1. Udyoga – parwa, babakan ini menceritakan ketika prabu Kresna, penasehat agung Pandawa, melaksanakan tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk menyodorkan “ Claim “ atas negara Astina kepada sang Kurupati benggol Kurawa yang menduduki negara tersebut.

2. Bhisma – Parwa, menceritakan ketika Resi ( Pandita ) Bhisma maju memimpin peperangan sebagai panglima besar dari tentara Kurawa. Babakan perang ini berlangsung 10 hari ( jadi lebih dari separo lamanya dari perang Bharata Yudha itu sendiri ). Akhirnya pandita tersebut gugur karena panah Srikandi, seorang perwira wanita.

3. Drona – parwa, mennceritakan waktu Pandita Drona, penasehat Kurawa memimpin pertempuran sebagai panglima tentara Kurawa. Ia gugur pula, putus lehernya oleh Sang Drestadyumna. Lamanya pertempuran ini 5 hari.

4. Karna – Parwa, menceritakan waktu Sang Karna, panglima perang tertinggi tentara Kurawa maju perang meminpin dan memegang sendiri komando pertempuran. Lama pertempuran hanya 2 hari saja dengan berakhir gugurnya sang Karna karena kesaktian Sang Arjuna.

5. Salya – Parwa, menceritakan ketika Sang Salya, sesepuh Kurawa meminpin pertempuran. Pertempuran hanya berlangsung setengah hari saja dengan berakhir gugurnya sang Salya oleh Puntadewa dengan ajimat Kalimahosadhanya.

6. Gada – Parwa, mengkisahkan waktu Sang Duryudana bertempur melawan Sang Bima. Duryudana menemui kekalahannya karena kena pukul pada betisnya oleh Bima dengan gada yang dinamakan Lohitamuka. Gada ini beratnya bukan alang kepalang karena berkepalakan besi massif. Dalam cerita wayang gada ini sangat terkenal yang oleh Ki Dalang disebut gada “ Rujak Polo “ ( polo artinya otak ). Meskipun Duryudana telah remuk dan cacad, tetapi ia tidak juga mati. Ia telah bersumpah, sebelum mati akan membersihkan telapak kakinya pada kepala-kepala para Pandwa ( kesed )

7. Sauptika – parwa, mengkisahkan ketika Aswatama bersama resi Krepa dan Kartamarma sebagai orang-orang Kurawa yang telah kehilangan akal, melakukan serangan pembalasan secara pengecut dengan meninggalkan aturan umum pertempuran. Dengan muslihatnya yang licik itu pada suatu malam mereka telah merunduk ke perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh dengan cara yang tidak ksatria perwira-perwira Pandawa serta kelima putra Yudhistira sesepuh Pandawa. Sebagaimana diketahui, malam itu para Pandawa bersam Kresna sedang melakukan anjangsana kedesa-desa. Mereka meninggalkan perkemahan dengan hati yang resah karena memikirkan sumpah Duryudana tadi.

Bharata Yudha dianggap keramat di Jawa.

Pertunjukan ( wayang ) dengan cerita Bharata Yudha yang mengasyikkan itubuat masyarakat di Jawa pada umumnya masih dianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat dan waktu. Menurut kepercayaan yang masih tetap berlaku, kalau dilanggar bisa menimbulkan bencana yang tidak diduga-duga. Biasanya lakon Bharata Yudha hanya dipertunjukkan pada saat-saat upacara “ bersih desa “ yang hanya berlangsung setahun sekali di desa-desa. Dan pertunjukkan ( wayang ) itu dilakukan ditengah sawah.

“ bersih Dusun “ atau merti dusun ( asal kata Jawa kuno “ Pitro “ berarti metathesis. Dengan merti dusun penduduk memberi sesaji kepada roh-roh leluhur, dan adat tata cara merti dusun itu kini tidak lagi terdapat di kota-kota. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang, dengan lakon Bharata Yudha itu hampir tidak pernah dilakukan dikota. ( sekarang sudah banyak dipentaskan oleh wayang orang dan disiarkan oleh radio – red )

Bharata Yudah di Bali.

Berlainan dengan di Jawam maka Bharata Yudha di Bali tidaklah dianggap keramat dan luar biasa. Disana kitab atau cerita yang dianggap tidak baik akibatnya ialah Serat Kidung Rangga Lawe, yang mengkisahkan memberontaknya Ki Rangga Lawe dari Tuban terhadap keprabuan Majapahit, disamping itu jugs kitab-kitab lain seperti cerita Jayaprana, suatu cerita yang hampir mirip dengan cerita Pranacitra untuk masyarakat Jawa. Di Bali kitab Bharata Yudha menjadi bacaan umum, terutama bagi mereka yang memperdalam kesusasteraan. Masyarakat Bali umumnya hafal diluar kepala, kebanyakan bait-bait yang tersurat dalam kitab tersebut, dan oleh karenanya banyak disitir dalam pelbagai percakapan.

Salah satu bait yang sangat populer dari Kakawin itu, ialah bait ke I Sekar Puspatagra, yang diucapkan dengan intonasi khusus pada waktu mereka berjalan mengiring jenazah yang akan diperabukan. Bunyinya bait itu adalah sebagai berikut :

“ Ri pati sang Abimanyu ring ranangga, Tenuh araras kadi sewaleng tahan mas, Hanan angaraga kalaning pajang lek, cinacah alindi sahantimun genenten “

Terjemahannya Ke I sebagai berikut :

Gugurnya Sang Abimanyu dimedan perang, Hancur remuk tetapi malahan nampak indah, bak lumut laut di atas piring kencana ukiran. Sebentar ( luka Itu ) nampak seperti lubang, keranjang kena sinar rembulan purnama, Terkeping-keping halus bak timu dicacah.

Itulah bait yang sedikit banyak menggambarkan peperangan dengan korbannya dan watak-watak pelakunya. Sebagai tambahan, dibawah ini di kutip lagi bait yang melukiskan keindahan malam serta pemujaan atas seorang wanita. Bagian ini terdapat pada Sekar Sardulawikridita bait ke I :

“ Leng leng ramya nikang sasangka kumenyar mangrongga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas Iwir murub ring langit. Tekwan sarwwa manik tawingnya sinawang saksat sekar ning suji, Unggawa Bhanumati yanamron alngo mwang natha Duryudana “

Adapun maknanya Ke. I adalah sebagau berikut :

Menggairahkan keindahan bulan purnama raya, menambah indah sinarnya puri, Kian tanpa tanding indahnya wism kencana, bak nyala dilangit. Dan bertahtakan Zamrud memancar laksana untaian kembang, Diditulah sang Ratna Banuwati biasa bercengkarama bersama Sang Duryudana.

Itulah petikan dari Kakawin Bharata Yudha, yang banyak difahami dan diperdalam oleh masyarakat Bali disamping pementasan lakon-lakon dari Bharata Yudha itu sendiri.

N.N.
sumber : http://karatonsurakarta.com

Gatotkaca, Kesendirian Seorang Panglima

Putra kedua Bima dengan seorang putri bangsa Raksasa dari negri Pringgandani. Kelahirannya dianggap sebagai buah dari sebuah rekayasa bangsa Dewa. Demi wibawa bangsa Dewa, Bima dijodohkan dengan Arimbi, dengan sebuah pamrih akan melahirkan seorang bayi yang kuat dan berani seperti bangsa Raksasa, serta pandai dan cerdas seperti seorang bangsa Manusia.

Bangsa Dewa yang kala itu mendapat rongrongan wibawa dari Prabu Kalapracona, raja negri Gilingwesi. Gatotkaca pun dibuat cepat dewasa, agar segera bisa menjadi jago bangsa Dewa menghadapi serangan bangsa Gilingwesi. Gatotkaca juga diberi kesaktian yang luar-biasa. Kecepatan terbang yang jauh diatas rata-rata kecepatan terbang ksatria pada umumnya. Kulit dan badannya sekeras baja. Tak ada senjata tajam yang mampu melukainya.




Tapi pada saat yang sama, bangsa Dewa juga mencipta senjata Konta Wijayadanu, satu-satunya senjata yang bisa melukai Gatotkaca, dan hanya bisa digunakan sekali pakai.

Gatotkaca adalah seorang patriot. Dia begitu patuh pada negrinya, pada keluarganya, dan pada kebenaran yang dipegangnya. Dia juga tidak mau berkompromi dengan Sitija atas sengketa batas wilayah negrinya, Pringgandani dengan wilayah Trajutrisna. Sengketa di wilayah Tunggarana. Dia sangat berdisiplin dalam menjaga wilayah kedaulatan negrinya dan keluarganya, dari wilayah negrinya paling utara perbatasan Pringgandani, ke selatan ke wilayah Amarta, sampai wilayah Dwarawati paling selatan.

Dia juga membantu Arjuna menggagalkan penyerbuan Prabu Niwatakawaca, dari negri Imaimantaka, ke kahyangan Jonggring Saloka. Dia hanya diam, walaupun semua bangsa Dewa hanya tahu bahwa yang berjasa atas penggagalan penyerbuan itu hanya Arjuna seorang. Bangsa Dewa menganggap biasa saja peran Gatotkaca atas peristiwa itu, karena menurut mereka, memang demikianlah tujuan Gatotkaca dilahirkan.

Gatotkaca sendiri yang memadamkan pemberontakan di negrinya yang dipimpin oleh paman-pamannya sendiri, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, dan Brajawikalpa. Gatotkaca juga menanggung rasa bersalahnya sendiri, ketika tanpa sengaja membunuh pamannya yang lain Kalabendana, yang sangat mencintainya.

Gatotkaca belajar banyak tentang ilmu kautaman dengan Petruk dan Resi Hanoman. Pernah juga berguru kepada Resi Seta, seorang ksatria dari negri Wirata.

Menjelang perang Baratayudha, Gatokaca diangkat oleh Yudhistira menjadi panglima pasukan pihak Pandawa. Gatotkaca juga diberi kepercayaan untuk menjaga seluruh wilayah Kurusetra, tempat berlangsungnya perang, agar bisa dijaga bahwa perang akan dilakukan secara ksatria.

Gatotkaca juga patuh, ketika Kresna, penasihat perang pihak Pandawa, justru memintanya agar tidak mengeluarkan seluruh kesaktiannya saat perang di Kurusetra. Gatotkaca lebih banyak diminta menjaga dari udara, dan turun bila memang perlu benar. Dia juga patuh ketika diminta untuk mengeluarkan kesaktiannya justru disaat pihak Kurawa, di medan laga dipimpin langsung oleh sang panglima, Adipati Karna, yang telah dihadiahi senjata Konta Wijayadanu oleh Batara Indra, beberapa bulan sebelum perang.

Gatotkaca sadar betul bahwa saat diminta maju ke medan laga, bahwa itu berarti dia akan sengaja dikorbankan menjadi tumbal bagi pihak Pandawa. Agar senjata Konta yang hanya bisa dipakai sekali itu, terhujam ke tubuhnya, sehingga Arjuna selamat dari ancaman Karna.

Dihari menjelang kematiannya, Gatotkaca menggempur prajurit pihak Kurawa secara luar biasa, Hari itu adalah hari dimana Kurawa kehilangan prajuritnya dalam jumlah yang sangat luar biasa besar dibanding dengan hari-hari lain selama Baratayudha. Membuat Karna geram, dan berkeputusan melepas Konta. Gatotkaca mati dengan Konta menembus dadanya.


Sumber : http://www.pitoyo.com/duniawayang

Luka Hati Seorang Dorna Terbalaskan

Pada umumnya seorang beranggapan dia berwatak buruk perusak perdamaian dan tukang fitnah, tetapi dia seorang resi bergelar Danghyang Dwija Wirpa. Artinya saking lihung derajatnya hampir setingkat dewa. Sikapnya bijaksana, cerdas tetapi rendah diri walau berilmu tinggi. Ia puns eorang sarjana ilmu perang memiliki Sir Weda Danur Weda, yakni kitab ilmu bercinta dan ilmu menggunakan senjata dan strategi perang.



Tubuhnya yang cacat berawal ketika mengunjungi bekas sahabat karibnya Sucitra yang ketika itu telah menjadi raja negara Pancala bernama Drupada. Dahulu ketika keduanya masih menjadi siswa Resi Baratwadya mereka sangat bersahabat, berperibahasa makan sepiring bersama minum semangkuk bersama. Bahkan ketika Sucitra kempali ke negeranya berjanji akan memberikan sebagian tanah negara kepada Dorna. Karena itu harapannya bila nanti bertemu dengan Sucitra, ia pasti akan disambut dengan penuh keramah tamahan sehingga akan merupakan pertemuan nostalgia yang sangat indah mengenang masa lalu.

Tetapi apa yang terjadi, lain harapan yang diangankan lain pula yang dialami. Begitu ia masuk keraton menyapa sahabatnya dengan kata-kata penuh kerinduan, lain pula budi perangai Drupada yang diperlihatkan dingin, muram dan berucap ketus: “Hei, siapa engkau … beraninya mengaku kau sahabat karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Cisss, dasar gelandangan tak tahu diri,” ujarnya sambil memblengoskan muka.

Dorna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan. Tapi ia masih mencoba mengingatkan, hanya kata-katanya berbeda dengan yang tadi: “Oh, maaf beribu maaf tuan. Hamba memang orang dari dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira tuan masih seperti tuan yang dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu dan, …” “Cukup,” bentak Drupada memutus pembicaraan Dorna. “Itu pengakuan yang tidak akan pernah terjadi dan hanya dibuat-buat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku. Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak pernah seperguruan dengan orang serendahmu,” kilahnya.

Seterusnya Drupada menuduh Dorna sengaja hendak mempermalukan dirinya di hadapan para mantri Bopati yang hadir saat itu. Sementara patih Gandamanah, body guard sang raja yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Dorna, telah melanggar kesopanan menjadi naik pitam. Tak ayal lagi diseretnya pendeta muda itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu dibuang ke tengah hutan belantara.

Akibat penganiayaan berat tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata picak sebelah, tangan sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya. Dalam keadaan tubuh rusak ia memaksakan diri berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan batin.

Akhirnya tibalah ia di sebuah negara yang tidak lain adalah negara Astinapura. Nasib baik telah menanti berkat ilmunya tinggi. Ia diangkat oleh Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan senjata dan strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu Kurawa dan Pandawa.

Bertahun-tahun sudah dia membina kedua golongan keturunan Barata dan melahirkan manusia-manusia berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatinya oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan. Peribahasa luka di badan masih dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas tetapi tanpa harus melukai fisik orang itu. Ia hanya ingin mempermalukan sahabatnya itu, seperti pernah ia ipermalukan di hadapan para Mentri Bopati Pancala. Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak oleh tangannya sendiri, melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.

Demikianlah suatu hari ia memanggil murid-muridnya untuk dicoba keterampilan menggunakan senjata panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap di dahan pohon. Caranya iatur secara adil dimulai dari Yudhistira. Sebelum diperkenankan melepas senjata sang guru bertanya dahulu: “Kau harus awas terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa kau lihat menurut ciptaanmu?” Yudhistira: “Selain burung saya lihat batang pohon, wujud bapak guru dan keempat saudara saya.” Sang resi mengulangi pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban yang itu-itu juga, lalu katanya: “Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, ayo minggir.” tukasnya ketus. Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan pertanyaan yang sama yang dijawa oleh Duryudana: “Selain burung saya lihat daun bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting, kemudian euu, kemudiannn euuu…..” “Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir.” katanya jengkel. Demikian para Kurawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu pun yang memuaskan sang guru.

Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: “Apa yang kau lihat disana” “Burung,” jawab Arjuna. “Selain burung apalagi yang kau lihat?” “Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung,” jawabnya. Mendadak wajah sang resi berseri, tapi ia bertanya lagi: “Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu warnanya.” Tetapi Arjuna hanya menjawab: “Yang kelihatan hanya kepalanya.” Seketika sang guru memerintahkan: “Lepaskan anak panah itu.” Dan melesatlah anak panah suaranya bersuling tepat mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira atas keberhasilan Arjuna.

Demikianlah di hadapan murid-muridnya ia mengharap rasa solider mau menangkap Drupada tanpa dilukai. Duryudana ketua kelompok Kurawa unjuk muda ingin mendapat nama sebagai murid yang paling menyayangi guru lalu berkata: “Bapak guru, luka hatimu adalah luka hati di hatiku. Karena itu akulah yang akan menyeret si Drupada itu ke hadapanmu,” katanya pongah. Maka tanpa minta restu dahulu, berangkatlah ia dengan kelompokKurawa menuju negara Pancala. Tetapi apa hasilnya, mereka hanya pulang dengan tangan hampa bahkan babak belur dihajar tentara Pancala dan langsung pulang keasramanya karena malu unjuk muka. Giliran Pandawa mohon restu menangkap Drupada. Dorna berpesan: “Anakku Pandawa, meski hatiku sakit tangkaplah ia tanpa kau lukai. Balaslah kejahatan dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu.” pesannya.

Berangkatlah para Pandawa menuju Pancala. Selang berapa lama Arjuna berhasil menangkap Drupada dalam keadaan utuh dan membawanya ke hadapan Dorna. Drupada duduk termenung menanggung malu tak berani bertatap mata dengan Dorna. Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya. Terbayang kembali dalam ingatannya ketika Dorna datang menemui tapi tak diakui, bahkan dihina dan ia menjadi tawanan untuk menerima peembalasan bahkan mungkin nyawa melayang. Ia terkejut Dorna menyapa: “Selamat datang paduka raja agung negara Pancala. Hamba mohon maaf belum bisa menerima paduka dengan selayaknya. Maklumlah hamba hanya seorang pengemis hina tak berharga.” ujarnya menirukan kata-kata penghinaan Drupada kepadanya dulu. “Oh, kakang Dorna, aku terima salah telah membuat kakang sakit lahir dan batin. Tetapi juga waktu itu kakang tidak menghargai aku sebagai raja. kakang masih menyamakan aku sebagai orang biasa berteriak-teriak memanggil namaku dibawah sorotan puluhan mata para sentana praja dan mentri bopati, sehingga aku merasa dipermalukan,”

Drupada coba memberi alasan. Dorna tertunduk mendengar alasan yang benar dan tak menyalahi. Tapi kemudian ia menjawab: “Hamba merasa bersalah tak tahu sopan santun sehingga mempermalukan paduka di hadapan para mentri bopati walau di saat itu juga hamba sudah memohon maaf itu tidak berarti sedikit pun bagi paduka. Malah lebih dari itu paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya oleh pengawal paduka. Padahal kita pernah bersahabat bagai kakak adik,” ujarnya dengan nada sendu. “Yah, aku memang bersalah, kini terserah mati hidupku ada ditangan kakang,” katanya pasrah. “Jangan samakan diri paduka dengan hamba. Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji, walaupun paduka telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga terasa pedih tak terperikan, tetapi rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas dengan cara seperti pernah paduka laukan terhadap diri hamba.

Sebab bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib hamba ketika sama-sama menjadi siswa resi Baratwaja. itu pun kalau paduka masih mengakui kita bekas teman akrab,” ujarnya. “Lalu apa maksud kakang sekarang aku telah menjadi tawananmu,” tanyanya. “Hamba akan menagih janji yang pernah paduka ikrarkan ketika di perguruan, bahwa paduka akan menganugerahkan separuh tanah dari kerajaan Pancalareja kepada hamba. Itulah yang harus paduka tetapi sekarang juga,” tukasnya dengan nada serius. Seketika terdengar suara orang banyak mengatakan rasa puas dengan keputusan Dorna. Sementara lainnya mengatakan, bahwa Drupada beruntung tidak dianiaya seperti dahuli dialami Dorna.

Mendengar umpatan itu Drupada yang rasa ke-aku-akuannya sangat tinggi merasa sangat malu. Dalam hatinya ia berkata, ternyata Dorna lebih kejam dari dugaan semula. Biar tak disakiti tapi dipermalukan di hadapan orang banyak hancurlah keagungannya. Belum lagi ia harus menyerahkan sebagian tanah kerajaan yang kesemuanya tak dapat dinilai dengan harta benda. Dalam hatinya ia berjanji akan membalas sakit hatinya kepada Dorna. Begitulah nafsu itu bagaikan hawa tiada tepinya, maka saling mendendam pun tiada habisnya.*

Ebet Kadarusman
sumber : prabuwayang.wordpress.com

Karna, Nyawanya Sebagai Tumbal Lenyapnya Angkaramurka

ADIPATI KARNA a­dalah raja Awang­ga, meskjpun raja tetapi raja kecil. Ra­ja yang masih diperintah raja lain (Ratu reh-rehan-Jawa).

Istrinya Karna itu bernama Dewi Surtikanti, putri Mandaraka, putra Prabu Salyapati. Anak Adipati Karna kalau dalam pewayangan adalah dua orang, lelaki dan perempuan, bernama Warsakusuma dan Dewi Suryawati. Patihnya Karna itu bernama Patih Hadimanggala. Banyak para pejabat atau tokoh masyarakat yang mengagumi tokoh Karna, termasuk guru saya. Ki Narto Sabdo. Bahkan juga Presiden I Bung Karno juga mengagumi tokoh Karna, sebab sejarah serta perjalanan hidup Karna itu agak aneh atau unik.



Karna itu anaknya Dewi Kunti Talibrata dengan Bathara Surya, tetapi tidak dengan jalan melalui hubungan badan (bersetubuh), sebab terkena walat atau kutukan disebabkan membaca mantra limu Aji Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan. Dewi Kunti itu sejak muda (perawan) sudah senang mempelajari ilmu, termasuk pula Kunti berguru kepada Brahmana yang bernama Reshi Druwasa, can diberi Ilmu “Aji Kunta Wekasing Rasa Sabda Tunggal Tanpa Lawan”, yang memilki daya keampuhan dapat mendatangkan Dewa hanya dengan kekuatan mantra tersebut. Peringatan Guru Druwasa. membaca atau merapal ilmu tersebut tidak boleh dilakukan sambil mandi dan/atau mau tidur.

Tetapi sepertinva Dewi Kunti tidak percaya dengan keampuhan Aji Kunta, karena itu Dewi Kunti mencoba kekuatan mantra Aji Kunta yang ia lakukan saat menjelang matahari terbenam. Dengan demikian Sanghyang Bathara Surya yang seharusnya akan istirahat, karena seharian penuh mengatur jalannya matahari, mendadak tergetar rasa hatinya sepertinya mendapatkan kontak bathin, tetapi Bathara Surya itu adalah Dewa yang ilmu kesaktiannya sangat tinggi, ibaratnya hanya dalam sekejap mata saja sudah sampai di tempat yang dituju, yaitu kamar mandi Dewi Kunti yang saat itu akan mandi. Dewi Kunti begitu mengetahui ada Dewa yang datang di depannya, langsung gugup dan tubuhnya gemetar, dengan cepat tangannya bergerak menyambar pakaiannya yang sudah mulai ia tanggalkan, tetapi yang teraih hanyalah kembennya saja, lalu ia kenakan untuk menutupi sebagian tubuhnya.

Bathara Surya kemu­dian berta­nya kepa da Dewi Kunti, ada maksud apa sampai ia merapal Aji Kunta? Dewi Kunti yang sebe­narnya ha­nya sekadar mencoba, karuan saja menjadi takut dan gugup dalam memberi penjelasan, bahwa apa yang ia lakukan hanyalah sekadar mencoba mantra tersebut

Mendengar pengakuan Dewi Kunti seperti itu, Bathara Surya menjadi marah, sebab mempelajari semua ilmu itu harus percaya dan yakin, tidak boleh hanya untuk main coba-coba. Karena itu Dewi Kunti lalu diberi hukuman, hamil tanpa bersetubuh. Dewi Kunti menangis, memohon pengampunan, tetapi Bathara Surya telah hilang dari pandangan mata.

Beberapa bulan Dewi Kunti tidak berani keluar dari kamar keputrian, yang ia lakukan hanya tidur berselimut rapat untuk menutupi kandungannya yang sudah besar, dan kalau ditanya oleh ayah, ibu dan kakaknya. jawabnya adalah sedang sakit.. Namun sepandai-pandai menyimpan bangke, akhirnya akan tercium juga bahunya. Demikianjuga halnya dengan apa yang terjadi pada Dewi Kunti, kakaknya sendjri Basudewa yang mengetahui pertama kali kalau ia sedang mengandung.

Talk terbayangkan bagaimana kemarahan Raden Basudewa begitu mengetahui dengan penglihatannya sendiri kalau adiknya Dewi Kunti sedang mengandung, padahal belum menikah dengan lelaki siapapun. Niatnya Dewi Kunti akan dihajarnya, namun untunglah Reshi Druwasa guru­nya Dewi Kunti mendadak datang, yang kemudian menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Dewi Kunti. Apa yang dijelaskan oleh Resi Druwasa dapat diterima oleh Basudewa.

Untuk menjaga agar aib tersebut tidak tersebar luas, bayi yang ada dalam kandungan Dewi Kunti, lalu dilahirkan dengan kekuatan mantra gaib Resi Druwasa. Bayi lahir melalui lubang telinga Dewi Kunti, karena itu jabang bayi diberi nama Karna.

Bayi Karna kemudian dimasukkan ke dalam kendaga dan dihanyutkan ke sungai Bagi Ratri, selanjutnya bayi yang hanyut di sungai itu ditemukan oleh salah seorang sais kereta Prabu Drestrarasta, yang bernama Adirata, yang kebetulan baru mandi bersama istrinya yang bernama Nyai Nadha, bayi dibawa pulang, dipelihara dan diasuh sampai dewa­sa.

Karna juga punya nama ; Suryaputra, Suryat­maja, Talidarma, Bismantaka, Pritaputra.

Adipati Karna bersatu dengan Prabu Duryudana, sebab Kama berhutang bu­di kepada Prabu Duryudana di Astina, termasuk Surtikanti, istrinya Kama itu sebenamya pacamya (ke­kasihnya) Duryudana, te­tapi direlakan menjadi istri­nya Karna. Intinya, semua kemuliaan yang dimiliki Prabu Karna merupakan pemberian atau anugrah dari Prabu Duryudana. Karena itu walaupun Prabu Karma itu putra Dewi Kunti, dan Pandawa itu saudara satu ibu, akan tetapi Prabu Karna tetap bersatu serta merasa dan mengakui kalau Duryudana yang harus dibela dan dilindungi. Prabu Karna juga mengakui kalau Kunti itu ibu yang melahirkannya, serta Pandawa itu adalah saudaraya. Meski demikian Prabu Karna kukuh dengan sumpahnya membela yang memberi kemuliaan, yaitu Prabu Duryudana.

Disinilah kita dapat mengambil pelajaran, Katresnan atau Kewajiban, tapi kenyataannya Prabu Kama memilih kewajiban. Kenyatannya dalam lakon “Krena Duta”. Kama bertemu dengan Kresna (Sandi Tama Kawedar), Kresna membujuk Karna agar bersatu dengan Pandawa. Karna tidak mau. Dewi Kunti sendiri juga membujuk dan meminta Karna bersatu bersama Pandaiva, Karna juga tidak mau, tetap akan membela Duryudana.

Namun sesungguhnya Karna itu juga sayang terhadap Pandawa, Buktinya? Karna itu memiliki pusaka pembawaan dari lahir yaitu yang berujud anting-anting yang bernama “Pucunggul Maniking Surya”, serta Kawaca (Kere Waja atau Rumpi Baja). Karena kecintaannya terhadap Pandawa, Karna membuang pusaka kadewatan yang dibawanya sejak lahir sambil bekata : Hai, saudaraku para Pandawa. Ini pusaka milikku yang sangat sakti sudah aku lepas, dibuang. Aku tidak butuh kemenangan, Pandawa harus menang. Angkara murka harus lenyap.

Ki. H. Manteb Soedarsono
Dari Majalah WAYANG EDISI ke 2
sumber : www.heritageofjava.com

Antareja, sang Hanantareja

Raden Hanantareja, yang berarti memiliki kuasa yang tinggi, yang dalam pedalangan cukup dipanggil Antareja, mempunyai nama lain Wasianantareja, Anantarareja. Ia adalah putra raden Werkudara dengan Dewi nagagini, putri Batara Antaboga, di kahyangan Saptapretala. Antareja kawin dengan Dewi GAnggi, putri Prabu Ganggapranawa raja ular di kerajaan Tawingnarmada. Dari perkawinan ini lahirlah Arya Danurwenda yang kemudian diangkat menjadi patih luar (patih njaba) negara Yawastina pada masa pemerintahan Prabu parikesit.



Antareja berkedudukan di kasatriyan Randuwatang atau juga disebut jangkarbumi. Bersamaan dengan lahirnya Antareja, raja negara jangkarbumi Prabu Nagabaginda menyerang kagyangan Suralaya. Ia meminta Dewi Supreti istri Sanghyang Antaboga untuk dijadikan permaisurinya, namun raja Tribuwana tidak berkenan, namun para dewa tak mampu melawan kesaktian prabu Nagabaginda. Akhirnya Batara Antaboga yang ditunjuk supaya mmusnahkan Prabu nagabaginda tadi, Antareja yang masih bayi akhirnya dibawa kakeknya menuju ke medan tempur dan dipertemukan dengan raja Jangkarbumi.

Sebelum diadu, bayi Antareja dilumuri air liur Antaboga sehingga menjadi kebal senjata. Bayi Antareja tidak mati melainkan bertambah dewasa. Akhirnya Prabu nagabaginda dapat dibinasakan oleh Antareja, negara Jangkarbumi lalu diserahkan kepada putra Bima tersebut. Prabu Nagabaginda yang tewas itu kemudian menjilma ke tubuh Antareja.

Peristiwa ini mengilhami Antareja ketika membantu adiknya. Arya Gatutkaca yang menuntut janji raja Tribuwana. Ketika Gatutkaca dapat menumpas raja Gilingwesi Prabu Pracona dan patih Kala Sekipu, Sanghyang Guru menjanjikan akan mengangkat Gatutkaca menjadi raja di kahyangan. Karena ditunggu-tunggu Hyang Guru tidak segera memenuhi janjinya, Gatutkaca menagih janji dibantu saudaranya, Antareja.

Saat itu Antareja menjadi raja Puserbawana bergelar Prabu Nagabaginda. Ia menyerang Suralaya sehingga Sanghyang Guru memanggil Gatutkaca. Sebelum berhadapan dengan Gatutkaca, Prabu nagabaginda melarikan diri sehingga Gatutkaca kemudian diangkat menjadi raja di Suralaya bergelar Prabu Sumilih. Prabu Nagabaginda yang lari dari kahyangan, kemudian menyerang negara Astina. Kurawa kalang kabut sehingga meminta bantuan kepada Pandawa. Karena Pandawa dan Sri Kresna juga tidak mampu membendung pasukan perang Puserbuwana, Sri Kresna dan Arya Bima meminta bantuan kepada Prabu Sumilih. Akhirnya Prabu Sumilih dan Prabu Nagabaginda berperang, keduanya kembali seperti sediakala menjadi Arya Gatutkaca dan Raden Antareja.

Antareja mempunyai kesaktian racun/bisa pada air liurnya yang dapat membinasakan lawan dalam waktu sekejap. Kulitnya yang bersisik Napakawaca mampu menahan serangan senjata tajam. Ia juga mempunyai cincin sakti Mustikabumi pemberian dari ibunya untuk tanda bukti bahwa Antareja adalah putra Dewi Nagagini. Didalam lakon Subadra Larung, cincin itu diperlihatkan kepada Arya Werkudara ayahnya, sehingga bima mengakui putranya. Kala itu Antareja terkejut melihat perahu mayat wanita yang tiada lain adalah Wara Subadra istri Janaka. Dengan cincin Mustikabumi, Antareja dapat menghidupkan kembali Subadra yang sudah meninggal karena dibunuh oleh Burisrawa secara tidak sengaja.

Akhirnya, Gatutkaca yang mendapat tugas untuk mengawasi jenazah Wara Subadra menjadi curiga dan menuduh Antareja yang membunuh bibinya itu. Keduanya lalu berperang, namun segera dicegah oleh Sri Kresna dan diberi nasehat bahwa keduanya masih saudara. Wara Subadra sendiri mengaku bahwa yang membunuh dirinya itu satriya Madyapura Raden Burisrawa, putra Prabu Salya raja Mandaraka.

Dalam kisah Kresna Gugah, Sri Kresnah merubah dirinya menjadi kumbang putih dan meninggalkan jasmaninya dalam bentuk raksasa yang sedang tidur. Roh Sri Kresna berupa kumbah putih itu menyelidiki kitab Jitabsara yang ditulis oleh Batara Panyarikan. Kitab Jitabsara mengisahkan Bharatayudha lengkap senopati Kurawa berpasangan dengan senopati Pandawa. Ketika Prabu Baladewa ditulis memihak Kurawa dan berhadapan dengan Antareja, Sri Kresna tidak sampai hati, maka ia menumpahkan tinta hitam tepat mengenai tulisan yang menerangkan pasangan Baladewa melawan Antareja. Sehingga keduanya gagal dipertemukan dalam Bharatayudha.

Akhirnya riwayat Antareja dikisahkan dalam lakon Tawur atau pengorbanan keluarga demi mencapai kejayaan perang. Kurawa tidak rela mengorbankan salah satu keluarganya, melainkan membunuh Ijrada, tarka dan Sarka, sedangkan Antareja dan Wisenggani rela mengorbankan diri untuk tumbal kemenangan pandawa. Antareja rela mati dengan menjiliat telapak kakinya sendiri dengan anugerah menempati sorgaloka tingkat sembilan (swarga tunda sanga) milik Sri Kresna.

Antareja Lahir

Di negara Saptapratala, Hyang Anantaboga, resi Abiyasa, para Pandawa, berkumpul untuk menunggu Dewi Nagagini yang akan melahirkan putera, berkatalah resi Abiyasa,”Hyang Anantaboga perkenankanlah nagagini saya bawa ke negara Amarta, jika bayi telah lahir, akan saya serahkan kembali .” Hyang Anantaboga menyetujuinya, dan berangkatlah Resi Abiyasa dengan Dewi Nagagini beserta pada Pandawa kembali ke Amarta. Sesampainya di Amarta telah hadir pula Hyang Kanekaputra dan para bidadari, berkatalah Hyang Narada,”gara-gara telah terjadi , tak lain dan tak bukan, titahku resi Abiyasa akan menurunkan ke-alusan-nya Gandamana, lagipula aku datang di Amarta atas nama Hyang guru, untuk menyaksikan kelahiran bayi Nagagini”. Tak lama setelah Hyang Narada bersabda, lahirlah bayi dari kandungan Dewi Nagagini.

Resi Abiyasa diberitahu oleh Hyang Kanekaputra, bahwa Hyang Guru berkenan memberi nama kepada si bayi: Senaputra, Antarja, lagipula diberi wahyu kesaktian racun hru pada gigi taringnya si bayi. Untuk mendapatkan kelemasan ototototnya, diseyogyakan si bayi diadu perang, dikemudian hari bayi akan menjadi jagonya para dewa. Setelah Hyang Narada selesai bersabda, kembalilah ke Suralaya diiring pada bidadari . Negara Amarta pada waktu yang bersamaan , dikepung oleh musuh, raja dari Paranggumiwang, bernama Prabu Salksadewa, datang akan menuntut balas dendam kematian ayahnya prabu Kaskaya, yang dibunuh oleh prabu Pandudewanata, ayah dari Prabu Yudistira dari negara Wanamarta.

Berkatalah Hyang Anantaboga,”Biarlah si Antarja menghadapi musuh dari Paranggumiwang, Werkudara bimbinglah puteramu ke medan laga”. Prabu Saksadewa mati oleh Anantareja, prajurit Paranggumiwang, patih Kalasudarga, emban Saksadewi tak dapat pula menandingi AntarEja, mati kesemuanya oleh putera Raden Arya Werkudara.

Seluruh istana bersuka cita merayakan kemenangan, Hyang Ananboga membawa cucunya Raden Anatareja kembali ke Saptapratala.


Antareja Takon Bapa

Di kerajaan Astina Prabu Nagabagendo, Begawan Durna menghadap Prabu Duryudana, oleh Begawan Durna dikatakan bahwa anak muridnya yang bernama Nagabagendo bersedia menjadi duta untuk membinasakan Pandawa. Setelah semua mufakat, berangkatlah Begawan Durna diiringi Prabu Nagabagendo menuju negeri Amarta, namun diperjalanan bertemu dengan R. Sentyaki dan R. Udawa kesatria dari Dwarawati.

Setelah mengetahui bahwa Prabu Nagabagendo akan menjadi perusuh dan membahayakan keluarga Pandawa, kedua satria tersebut lalu berperang dengan Prabu Nagabagendo dam kedua satria digertak Prabu Nagabagendo, R. Udawa jatuh dilapangan negeri Amarta dan R. Sentyaki jatuh di negeri Amarta. Begitu R. Sentyaki mendapat dirinya berada di negeri Amarta, segera melaporkan akan mara bahaya yang akan menimpa pihak Pandawa, belum selesai melaporkan kejadian yang dialami pihak Pandawa, datang Prabu Nagabagendo untuk merebut kekuasaan Amarta, maka terjadilah peperangan dan pihak Pandawa tak ada yang dapat mengalahkan kesaktian Prabu Nagabagendo.

Akhirnya berdasarkan saran Prabu Kresna, bahwa yang dapat mengalahkan Prabu Nagabagendo adalah kesatria yang berkulit sisik seperti ular, maka R. Angkawijaya ditugaskan untuk mencari satria yang dimaksud. Sementara itu di sumur Jalatunda, R. Pudak Kencana menghadap kakeknya, Sang Hyang Hanantaboga untuk diberitahu siapa sebenarnya ayahnya dan dimana berada.

Oleh Sang Hyang Hanantaboga diberitahu bahwa ayahndanya ada di negeri Amarta bersemayam di Kasatrian Jodipati. Dengan diiringi kakeknya, R. Pudak Kencana pergi menuju kasatrian Jodipati dan di tengah jalan bertemulah ia dengan R. Angkawijaya yang sedang mencari jago untuk melawan Prabu Nagabagendo. Sesampainya di negeri Amarta, R. Pudak Kencana bertemu dengan R. Werkudara, namun R. Werkudara akan mengakui sebagai anaknya bila mampu membinasakan Prabu Nagabagendo. Akhirnya R. Pudak Kencana berperang melawan Prabu Nagabagendo dan binasa, oleh kakeknya R. Pudak Kencana dapat dihidupkan kembali dengan air kehidupan yang disebut Tirta Kamandanu serta R. Pudak Kencana diberi kesaktian Ajian Upas Onto.

Dengan kesaktian Upas Onto, R. Pudak Kencana dapat membinasakan Prabu Nagabagendo dan bala tentara Kurawa dapat dikalahkan oleh Pandawa beserta putra-putranya.

Dengan kematian Prabu Nagabagendo negeri Amarta menjadi aman, tentram dan damai serta R.Pudak Kencana menjadi bagian keluarga besar Pandawa dan beralih nama R.Antareja.


Antareja versi Wikipedia

Antareja adalah anak dari Werkodara atau Bima dari istri keduanya Nagagini seorang putri Dewa Antaboga. Dikisahkan dia adalah seorang satria yang tangguh, sakti mandraguna. Ia mempunyai 2 (dua) orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu. Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi).

Ia memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.

Anantareja memiliki sifat dan perwatakan : jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.

Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuda atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayudha.


Ebet Kadarusman
sumber : detikforum.com

Antasena, Jalan Manusia Sufi

Anda tak akan menemukan tokoh ini pada versi Mahabarata aslinya, versi India. Karena tokoh Antasena hanya ada di kisah wayang gubahan Jawa. Pun hanya ada di Yogyakarta. Pada wayang Surakarta, nama Antasena juga ada, tapi Antasena di sini, hanya nama lain dari tokoh Antareja. Sedang di Yogyakarta, Antasena dan Antareja dikisahkan sebagai dua karakter yang berbeda, walaupun keduanya sepertinya sama-sama diciptakan sebagai sosok ‘pencari’ makna kehidupan sejati, tapi nuansa tingkah-laku mereka sangat berbeda.



Antasena adalah anak bungsu Raden Bima, kedua Pandawa. Lahir dari rahim Dewi Urangayu, putri semata wayang Sang Hyang Baruna. Jalinan kisah itu membuat Antasena menjadi sosok yang unik. Dia adalah bangsa manusia, lahir dari keturunan campuran bangsa Samodra dan bangsa Dewa.

Di dalam pakeliran wayang Jawa, sosok Antasena menyimpan misteri tersendiri, entah karena pengejawantahan karakter Antasena sendiri yang samar, ataupun sengaja dibuat demikian, tak ada yang tahu. Tapi konon kabarnya memang sosok karakter Antasena ini dimunculkan sebagai penggambaran akan sebuah kepribadian sufi. Orang menghubung-hubungkan akan kemunculan tokoh Antasena ini dengan semisal figur ‘nyleneh’ Syeh Siti Jenar ataupun sosok ‘sakral’ Abdul Qadir Jaelani.

Tak banyak dalang yang cukup ‘berani’ melakonkan tokoh Antasena dalam pertunjukannya. Mungkin karena penokohannya sendiri yang misterius, atau kegamangan para dalang itu yang merasa tidak cukup mampu menghidupkan karakter Antasena dari tangan mereka.

Antasena bisa dikesankan orang yang angin-anginan, sudah tidak lagi memandang dunia. Terbebas dari sifat unggah-ungguh kehidupan kerajaan. Dia bebas berkata kepada siapa saja tanpa harus berbahasa halus. Kesaktiannya sulit digambarkan, karena tak pernah diceritakan dia kalah oleh orang lain, bahkan oleh bangsa Dewa sekalipun! Konon untuk membalik dunia wayang pun dia dianggap mampu.

Lalu, kira-kira karakter yang seperti apa yang ada dalam kepribadian seseorang sakti tanpa tanding? Karena toh kemampuan seperti ini tidak mungkin ditempelkan pada tokoh antagonis. Karakter seperti ini pun rasanya akan hambar bila harus ada pada para ‘lakon’. Sehingga karakter ini seolah kemudian dilengkapi dengan sebuah penggambaran akan sifat ketinggian ilmu dan kebijaksanaannya. Ilmu yang secara awam tak akan mampu dibaurkan dengan para tokoh wayang kebanyakan. Ada yang kemudian memunculkan tokoh ini dengan kesan lucu dan selengekan, saya pikir demi sebuah upaya agar tokoh Antasena ini bisa digagas dan diterima secara khalayak. Tapi tetap ada juga yang berusaha menggambarkan tokoh Antasena ini seperti keinginannya, men-tauhid, kesufi-sufian, jauh dari keinginan dunia, dan selalu mengagungkan Sang Pencipta di setiap langkahnya.

Bentuk fisik yang khas adalah kulit sisik kemerahan di sekujur badannya. Digambarkan seperti sisik udang. Dapat hidup di darat dan di dalam air.

Antasena jelas tidak dilibatkan di perang Baratayudha. Gubahan cerita wayang versi Jawa itu tetap menempatkan Antasena seperti apa adanya, samar-samar. Dan karakter seperti Antasena tentunya tidak punya keinginan untuk turut serta pada hingar bingar peperangan. Karena kehidupan dan kematian yang dilihatnya sudah beda sekali dibanding yang dipahami orang kebanyakan.

Ketika banyak orang yang khawatir akan kesaktiannya yang tanpa tanding, akankah dia melibatkan diri pada perang Baratayudha? Cerita itu membawa pengertian bahwa justru Antasena sendiri yang tidak begitu tertarik untuk terlibat Baratayudha. Karena baginya hampir tak ada jarak pemisah antara ‘membunuh’ dan ‘melapangkan jalan kematian’. Satunya akan dihujat dan dikutuk, sementara yang satunya akan mendapat terimakasih dari si mati.

Kematiannya pun penuh misteri. Seakan cerita itu memang sengaja dibuat tidak lengkap demi mempertahankan sosok remang-remang bagi Antasena. Ada yang berkata bahwa dia hidup terus dan tak pernah mati. Ada versi yang mengungkap bahwa Antasena menjadi mengecil dihadapan Sang Hyang Wenang menjelang Baratayudha. Juga ada versi –yang saya pakai dalam novel saya- dimana dia menempuh jalan kematian sebagai tanaman jagung untuk juga menahan keterlibatan Baladewa di Baratayudha. Untuk kemudian kembali merubah dirinya sebagai ikan pari untuk mengantar jasad Bisma bertemu roh Dewi Amba di alam dasar Samodra. Dan jalan kematian itu pun seakan tak pernah selesai, ketika Antasena selalu merubah dirinya ke wujud kehidupan lain setelah kehidupan sebelumnya dianggapnya sudah selesai tugasnya.

Antasena memiliki istri Dewi Jenakawati, putri Arjuna.

Sumber : http://www.pitoyo.com/duniawayang/

Mempertanyakan Pekerjaan Ideal

Senin, 07 Juli 2008

Oleh: Ubaydillah, AN

Penyakit umum yang sering dialami oleh individu adalah tidak/kurang puas dengan apa yang SUDAH didapatkan dan "AKAN" merasakan kepuasan sepenuh hati dengan sesuatu yang nanti didapatkan. Bagi yang belum bekerja kemungkinan besar mendapatkan pekerjaan "apa saja" merupakan kenikmatan tersendiri. Namun setelah pekerjaan didapat, rasa nikmat itu hilang dimakan oleh kecenderugan lain untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan background pendidikan, pengalaman, identitas diri dan standard gaji yang lebih tinggi. Ketika semua itu sudah didapatkan pun tidak berarti masalah selesai sebab masih ada kecenderungan lain lagi yang muncul yaitu mendapatkan pekerjaan ideal.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak anda mempertanyakan dua hal. Pertama, adakah pekerjaan ideal itu menurut teritori aktual berdasarkan peta yang sudah ada? Kedua, sehatkah kecenderungan untuk merasa "tidak puas" dengan pekerjaan yang ada sekarang?


D e f i n i s i
Kalau merujuk pada definisi teoritis tentang arti kata "Ideal" yang sebenarnya, maka tata letak yang memisahkan realita ideal dan realita aktual tentang pekerjaan yang kita hadapi saat ini sudah benar. Pekerjaan ideal itu ada (dalam arti ‘it exists’) dan perlu kita adakan (baca:pahami) dalam rumusan konsep (It is conceptualized). Tetapi harus dengan pengakuan tidak akan terjadi (it doesn’t happen) dalam arti secara matematis/actual. William James (1842-1909), seorang pakar psikologi, mengatakan iIdeal itu bagaikan bintang di langit. Jangan pernah berpikir tangan anda dapat menggapainya tetapi pilihlah sebagai petunjuk yang harus anda ikuti untuk meraih nasib yang anda pilih. Advance Dictionary menerjemahkan kata ideal sebagai berikut: "(something) contrasted with real, existing only in the imagination; not like to be achieved".
Definisi demikian sudah klop dengan tatanan alamiah di mana langit sebagai destinasi ideal dan bumi adalah kenyataan aktual. Langit itu ada (exist) tetapi tidak satu pun orang dapat menggapainya (happens) secara fisik. Munculnya gap internal di dalam diri seseorang tentang pekerjaannya adalah kesalahan mengartikan dan menggunakan senjata kata ‘ideal’. Kesenjangan internal terjadi karena orang memaksakan ideal untuk terjadi secara fisik dan menolak peristiwa aktual dalam arti keinginan untuk membuat tata letak yang sebaliknya.

Beberapa kerugian yang akan diterima oleh aksi memutarbalikkan fungsi dan arti ideal ini dalam pekerjaan dapat diprediksikan sebagai berikut :

  1. Miskin konteks secara menyeluruh tentang pekerjaan terutama dari mana, bagaimana dan dengan siapa saja pekerjaan akhirnya diselesaikan. Kemiskinan konteks (interconetedness) disebabkan oleh keterbatasan pemahaman atas pekerjaan yang dibatasi oleh pikiran menolak materi pekerjaan.
  2. Perasaan tidak bahagia, tidak senang, dan tidak antusias menjalani pekerjaan karena pekerjaan yang telah ditukar dengan waktu, tenaga dan pikiran itu hanya dijiwai setengah-setengah.
  3. Tidak yakin dan tidak bangga dengan pekerjaan dan jabatan yang disandangnya sehingga dengan gampang menggunakan senjata pasrah (giving up) atau melempar tanggung jawab kepada orang lain (blaming).
  4. Tidak memiliki sikap penilaian rasional atas orang lain dan keadaan di tempat kerja atau mengidap penyakit yang diistilahkan dengan "critical spirit", di seseorang cenderung melihat dari sudut paling negatif tentang dirinya, orang lain dan keadaan.
  5. Lebih banyak ruginya ketimbang untungnya baik secara pendapatan material dan non-material. Kalau kita tidak menerima sepenuh hati pekerjaan yang kita jalani bagaimana mungkin orang mempercayai hasil pekerjaan kita? Selain itu, kualitas pengalaman seseorang (yang merupakan komoditi karir) seringkali diwakili oleh "how good" bukan "how long". How good adalah lambang bagaimana orang memaknai peristiwa yang dialami melalui apa yang dilakukan terhadap peristiwa tersebut.

Dari uraian di atas rasanya sudah terjawab bahwa anda tidak akan menemukan pekerjaan ideal dari orang lain kecuali anda menciptakannya sendiri yang ‘exist’ secara emosi, mental, pikiran, sikap, dan keyakinan agar rumusan tersebut berfungsi sebagai inspirator/motivator untuk terus maju meraih bentuk kesuksesan pekerjaan yang anda pilih.
Batu Loncatan
Pengalaman membuktikan bahwa amat sulit (bahkan mustahil) untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang langsung "meet" dengan kebutuhan, keinginan dan harapan pada satu saat yang bersamaan. Oleh karena itu untuk mencapainya diperlukan suatu siasat dengan membuat Jembatan Batu Loncatan. Sebenarnya jembatan ini adalah ungkapan dari kecenderungan sehat dengan syarat diletakkan dalam persepektif yang sehat. Bagaimana membedakan yang sehat dan yang tidak sehat?

Berikut adalah sebagian dalil yang dapat kita jadikan alat membedakan:


1. Menjadikan pekerjaan hari ini sebagai realita aktual yang disyukuri (accept and acknowledge) atas dorongan keyakinan untuk menemukan makna.

Ajaran teologi mengatakan apapun yang kita terima hari ini mengandung makna. Persoalannya makna tersebut seringkali tampil di permukaan berupa peristiwa yang tidak kita inginkan, seperti kegagalan atau penyimpangan terhadap kalkulasi logis. Semua orang dipastikan bisa membenarkan perkatan Antony Robbin yang kira-kira artinya adalah banyak peristiwa yang dulunya kita tolak mati-matian tetapi pada akhirnya kita sadari bahwa peristiwa tersebut kita butuhkan demi kemajuan dan kebaikan kita. Hanya saja yang sering terjadi adalah kita terlambat menyadarinya padahal ada pilihan lain di mana kita bisa langsung menyadari dengan mengubah format keyakinan bahwa : setiap peristiwa pasti ada makna !


2. Merasakan pekerjaan dengan sepenuh hati (half-full-cup feeling) – menolak perasaan setengah-setengah (half-less-cup-feeling).
Memang tidak ada yang dapat memastikan masa depan kita akan menjadi lebih atau lebih buruk, tetapi menurut logika hidup yang benar seseorang harus membangun masa depannya mulai dari hari ini. Kalau kita sudah merasa tersiksa dengan hari ini maka kita telah membangun masa depan dengan rasa tersiksa dan nestapa sehingga hasilnya adalah…..? Kahlil Gibran mengatakan orang bisa merasakan bahagia dan nestapa jauh sebelum orang tersebut benar-benar merasakannya. Bahagia dan nestapa adalah pilihan emosi yang kita tentukan, bukan persoalan pekerjaan.


3. Memikirkan pekerjaan sebagai materi yang perlu dieksplorasi sebagai alat menuju singgasana tingkat pekerjaan yang sering disebut dengan "stay in demand".
Memang pada tahapan awal seseorang harus mencari / menemukan pekerjaan kalau ia tidak mampu langsung menciptakannya. Tetapi pada satu titik nanti akan datang sebuah moment di mana orang merasa ‘malu’ kalau harus terus-menerus mencari. Ia kemudian akan mencoba untuk "dicari" (to attract). Nah...untuk sampai pada tingjkatan tersebut tentu bukan perkara gampang. Kalau alat untuk membuat orang lain tertarik pada anda (baca: pekerjaan) tidak anda bina dari sekarang sementara moment demikian sudah mulai muncul, maka….?


4. Menyikapi pekerjaan sebagai pihak yang kita kontrol, bukan sebaliknya.
Dengan memegang kendali berarti desain/model masa depan pekerjaan berada di tangan kita. Pengendalian adalah manifestasi dari pikiran, perasaan, dan keyakinan positif. Jadi, pembeda mendasar antara memegang dan melepaskan kontrol (dikontrol) terletak pada unsur positif dan negatif. Kalau kita merasa negatif atas pekerjaan saat ini sama dengan memberi izin kepada perasaan untuk mengontrol kita dan biasanya menghasilkan "bad surprise".


5. Menjalani pekerjaan tetap pada koridor merealisasikan platform kualitas.
Contoh dari platform pekerjaan itu adalah anda memilih menjadi specialist, generalist atau lainnya. Praktek yang sering terjadi adalah praktek lompat sana-sini dengan kualitas penguasaan pekerjaan yang masih jauh dari singgasana "in demand" atau lebih tepatnya hanya didorong oleh perbedaan nilai nominal gaji awal, bukan oleh dorongan merealisasikan platform. Sepintas memang telah terjadi perbedaan atau perubahan nasib tetapi esensinya di belakang sama saja. Mengapa? Nasib reward suatu pekerjaan yang kita jalani lebih sering ditentukan oleh kemampuan untuk menciptakan kualitas yang lebih kepada pihak lain bukan dibedakan oleh identitas pekerjaan atau perusahaan.

Platform kualitas adalah pernyataan diri tentang sebuah pekerjaan yang kita pilih berdasarkan nilai, tujuan, keunggulan, pengalaman, atau pendidikan. Platform yang kita buat tanpa keputusan dan pondasi kecuali ikut-ikutan atau desakan reaktif kebutuhan sesaat atau penghindaran membuat kita mudah bongkar pasang platform yang tidak mengikuti "Growth Circle". Artinya apa yang dilakukan hanya berfungsi seperti candu yang hanya menenangkan sementara dan karena dunia ini tidak berbeda maka masalah di tempat lama akan juga ditemui di tempat yang baru.

Pembelajaran Diri
Supaya gap antara realita pekerjaan ideal dan aktual tidak terus membesar dan malah menyerang kita maka jurus yang paling aman adalah mejalani pembelajaran dimana kita memahami kesempurnaan adalah proses usaha yang terus kita lakukan menuju yang lebih sempurna.

Beberapa ide berikut bisa kita jadikan acuan untuk melangkah mendekati kesempurnaan pekerjaan:

  • Aktualisasi ideal
    Cara membuat ideal menjadi actual atau mengaktifkan rumusan ideal supaya bekerja di alam aktual adalah "to live the life in living present". Berpikirlah tentang hari esok, dan merenunglah tentang hari kemarin tetapi ketika sudah bertindak maka fokuskan pada perbaikan hari ini. Bertindak adalah solusi terbaik untuk hari ini sedangkan mengetahui adalah solusi untuk hari esok. Pendek kata, ketika sudah datang saat untuk bertindak, tinggalkan sementara memikirkan (how) atau merenungan (why) tetapi just do it. Honore De Balzac (1799 – 1850) , seorang journalist Perancis mengatakan bahwa senjata paling ampuh untuk tetap sabar menghadapi realita yang tidak mempedulikan keadaan kita dan lingkungan yang sering mencaci maki kita adalah mengisi hidup untuk hari ini yang didorong oleh inspirasi merealisasikan rumusan ideal
  • Akselerasi Proses
    Menyadari proses merupakan alat untuk mempercepat sirkulasi dari unwanted menuju wanted situasi. Menyadari proses juga dapat menyelamatkan kita dari problema yang disebabkan oleh keterlambatan menyadari adanya "the moment of AHA" dari peristiwa yang telah / sedang kita jalani. Menyadari proses artinya melakukan sesuatu (extra effort) dari yang paling mampu kita lakukan untuk memperbaiki keadaan yang tidak kita inginkan saat ini. Sebgaai contoh, ketika anda tidak ‘rela’ menjadi karyawan tingkat rendah, tangkaplah ketidakrelaan tersebut sebagai isyarat untuk menjadi karyawan tingkat atas dengan melakukan extra-effort yang secara rasional akan mengantarkan anda ke posisi tersebut.. Sekali lagi usaha ekstra tidak selamanya menuntut untuk dipahami secara ‘wah’ yang saat jauh dari kemampuan riil kita. Kita bisa membaca buku, mempelajari orang lain yang lebih atas tentang bagaimana mereka menyelesaikan masalah pekerjaan untuk dipahami.
  • Kapitalisasi Kekuatan
    Kapitalisasi kekuatan adalah aplikasi manajemen usaha ekstra. Strategi yang kita jalankan untuk memperbaiki pekerjaan lebih penting ketimbang melakukan sesuatu secara asal-asalan. Kapitalisasi adalah usaha yang kita lakukan untuk menggali lebih dalam kekuatan yang oleh bahasa industri diterjemahkan sebagai langkah menaikannkan daya jual. Atau dengan kata lain, usaha yang kita lakukan untuk menaiki tangga singgasana menuju posisi "stay in demand". Kapitalisasi kekuatan dilakukan dengan cara: a) memperkuat daya tarik spesialisasi pelayanan personal yang mengarah pada apa dan siapa anda; b) memperjelas unsur diferensiasi (keunggulan dan keunikan) sebagai benteng pertahanan menghadapi persaingan; c) menciptakan segmentasi aktivitas, bidang dan jaringan, d) menciptakan konsentrasi hanya pada pengembangan dan perbaikan.

Walhasil, ideal atau tidak ideal suatu pekerjaan bagi kita murni urusan memilih bagaimana kita memahami keadaan pekerjaan. Hal terpenting adalah jangan sampai karena kita tidak puas dengan hari ini lalu kepuasan hari depan tidak kita ciptakan mulai sekarang. Padahal seperti dikatakan pepatah, telor hari ini masih lebih baik daripada ayam hari esok. Kenyataan kerap mengajarkan orang yang bisa menerima pekerjaan sebagai telor hari ini lebih sering mendapatkan tawaran yang lebih banyak dan lebih mudah. Bisa jadi telor dan bisa juga langsung ayam. Siapa tahu. Semoga berguna. (jp)


Team e-psikologi
Sumber : www.e-psikologi.com